Selasa, 22 November 2011

11-11-11 part 2 [cerpen]

created by: Mei Maharani Srikandi
[No Copas!]
Dia adalah anak baru di sekolahku waktu itu. Dia anak yang cukup manis. Dan aku yakin saat besar nanti dia akan tumbuh menjadi anak yang tampan. Karena dia suka menyendiri, jadi aku nekat mendekatinya. Tidak kusangka kalau kami dapat menjadi teman baik. Hanya satu tahun saja. Karena setelah itu dia dan orang tuanya harus pindah rumah kembali. Aku sangat sedih saat pertama kali tahu dia akan pergi. Aku juga kesal karena aku tidak pernah jujur padanya soal perasaanku. Aku menyukainya. Ya, mungkin ini yang namanya cinta monyet. Oleh karena itu aku selalu menunggunya hingga saat ini.
          Tapi sekarang aku pikir tidak ada gunanya menunggu suatu hal yang tidak pasti. Jadi aku akan berusaha dan aku yakin aku bisa melupakannya. Perlahan-lahan, diawali dengan menjauhkan benda-benda yang dapat membuatku teringat padanya.
[JULI 2011]
          Satu bulan telah berlalu. Hubungan pertemananku dengan Hana sudah semakin dekat dan kami semakin sering keluar malam. Kurasa aku pun sudah mulai ketergantungan pada barang itu, karena badanku mulai merasa tidak enak jika tidak mengkonsumsinya. Aku sadar yang aku lakukan ini salah. Tapi ini sudah terlanjur. Sudah sulit bagiku untuk bisa lepas dari barang itu. Yang bisa kulakukan hanya menyembunyikan hal ini agar jangan sampai ada seorangpun yang tahu.
          Suatu hari aku pergi ke perpustakaan untuk mencari buku. Tiba-tiba langkahku terhenti saat kulihat sesosok laki-laki yang bersandar di depan ruangan kepala sekolah. Aku tidak dapat berkata-kata. Kulanjutkan langkahku tapi dia memanggil namaku. Rasanya jantungku seperti mau berhenti berdetak. Aku tidak berani menoleh dan langsung berjalan dengan cepat meninggalkan tempat itu.
          Tapi keesokan harinya saat pulang sekolah laki-laki itu berhasil mencegatku.
          “Bilva, kamu Bilva? Aku benar-benar senang karena pada akhirnya aku dapat menemukanmu.” Katanya sambil tersenyum.
          “Minggir!”
          “Apa? Va, kamu ga ingat aku?”
          “Apa kau pikir ingatanku seburuk itu? Tentu saja aku ingat, Vino Soegijapranata.”
          “Tapi, kenapa sikapmu seperti ini?”
          “Kau tidak suka dengan sikapku? Kalau begitu jauhi aku!”
          “Menjauhimu? Tidak akan aku lakukan. Sudah kubilang aku tidak akan meninggalkanmu lagi.”
          “Itu bukan urusanku.” Kataku lalu pergi.
          Kini dia telah muncul. Kenapa dia hadir lagi dalam hidupku disaat aku mencoba untuk melupakannya? Kenapa dia hadir lagi dalam hidupku disaat hidupku sudar hancur?
          Aku segera pulang kerumah dengan bercucuran air mata.
Maafkan aku.. Vino, maafkan aku.. Aku pun senang dapat bertemu denganmu lagi. Tahukah kau betapa aku merindukanmu? Tapi kau muncul disaat yang tidak tepat. Aku sudah tidak punya muka lagi untuk bertemu denganmu. Sekarang aku terlalu malu untuk menghadapimu. Aku sudah tidak pantas lagi menjadi temanmu.
***
          Hari-hari berikutnya Vino selalu menyapaku setiap kami berpapasan di sekolah. Seringkali kukatakan padanya agar dia mau menjauhiku tapi dia tidak pernah menghiraukan perkataanku.
          “Va, kalung itu masih kau simpan?”
          “Entahlah... Aku tidak ingat dimana aku menyimpannya. Mungkin sudah hilang. Benda yang jelek. Aku tidak menyukainya.”
          Raut wajahnya berubah. Aku  tahu perasaannya sangat marah saat aku mengatakan itu. Saat kecil Vino sangat menjaga kalung itu dan selalu membawanya kemanapun dia pergi. Kalung itu sangat berharga baginya karena itu adalah pemberian dari kakeknya.
“Padahal aku percaya padamu. Aku hanya ingin kau
menyimpannya. Tapi sudahlah. Mungkin bagimu itu bukan benda yang penting. Ya, itu memang bukan benda yang penting.” Setelah mengatakan itu Vino bebalik dan pergi.
Vino.. sungguh aku tidak bermaksud menyakiti hatimu. Aku lakukan ini agar kau membenciku dan mau menjauhiku.
          Akan tetapi, setiap usaha yang aku lakukan tidak pernah berhasil. Dia selalu menolongku meskipun aku sering membuatnya sakit hati. Aku tidak habis pikir, entah apa yang membuatnya bisa bertahan untuk tetap berada disampingku.
***
Suatu hari aku pulang sekolah dengan berjalan kaki. Tiba-tiba saja ada sebuah sepeda motor yang melaju dengan sangat cepat dan menyerempet kearah ku. Aku terjatuh, kepalaku berdarah karena terbentur pada trotoar, kakiku sedikit terluka karena telah bergesekan dengan aspal. Antara kaget, pusing, dan rasa sakit bercampur menjadi satu. Badanku menjadi lemas. Kurasakan seseorang menggendongku tapi aku tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas.
          Saat tersadar aku sudah berada di rumah sakit. Kepala dan kakiku sudah diperban. Tapi aku masih dapat berdiri karena lukaku tidak terlalu parah.
          “Va, kamu mau kemana?” Tanya Vino.
          “Kamu yang bawa aku kesini?”
          “Iya, berbaringlah dulu sampai kau merasa baik.”
          “Aku sudah merasa baik dan aku ingin pulang.”
          “Baiklah, ayo biar kuantar.”
          “Tidak perlu. Aku masih bisa pulang sendiri.” Aku mengambil tasku dari sebuah kursi.
          “Terimakasih kau sudah mau menolongku.” Ucapku sebelum pergi meninggalkannya.
          Sejak kecelakaan itu sikapku terhadap Vino mulai berubah. Walaupun aku masih tetap menjaga jarak dengannya, tapi aku tidak pernah berusaha lagi untuk menyakiti hatinya.
[AGUSTUS 2011]
          Aku sedang berada dikantin sekolah bersama Mita. Tiba-tiba saja tubuhku merasa tidak enak.
          “Kamu kenapa, Va?”
          “Apa? Hmm ga apa-apa ko. Mit, aku tinggal dulu ya. Euu, ada yang ketinggalan di perpus.”
          “Makan dulu, Va!”
          “Ga usah.”
          Aku berbohong pada Mita. Aku tidak pergi ke perpustakaan, melainkan pergi mencari tempat yang sepi. Tubuhku mulai meriang. Untunglah aku selalu membawa setidaknya satu butir obat untuk berjaga-jaga jika gejala seperti ini terjadi. Aku berhasil menemukan tempat sepi di sebuah sudut sekolah. Saat aku keluarkan sebuah plastic berisi obat-obatan itu, tiba-tiba seseorang merebutnya dari tanganku. Tidak kusangka ternyata ada yang mengikutiku.
          “Apa ini?”
          “Vino? Kenapa kamu bisa disini?” tanyaku dengan sedikit ketakutan.
          “Ini obat apa? Kau sakit?” tanyanya. Lalu dia memperhatikan keadaanku yang semakin tidak karuan. Wajahku sudah mulai pucat, tanganku mulai bergetar, suhu tubuhku sudah semakin dingin.
          “Va, jangan bilang ini…” belum selesai Vino menyampaikan kalimatnya aku merebut obat itu dari tangannya lalu segera meminumnya.
Sedikit demi sedikit keadaanku menjadi pulih kembali. Vino terdiam. Aku dapat melihat gurat ketidakpercayaan dan kekecewaan diwajahnya. Setelah dia dapat mengontrol perasaannya kembali, dia mulai bertanya padaku.
“Sejak kapan?” Tanya Vino. Aku terdiam sesaat.
“Dua bulan lalu.” Jawabku.
“Kenapa kau menggunakan barang seperti itu?”
“Sudahlah, bukan urusanmu.”
“Jauhi benda itu!”
“Tidak bisa. Ini masalahku. Kau tidak perlu ikut campur. Cukup tidak mengatakannya pada orang lain, maka aku akan sangat berterimakasih.” Aku pergi meninggalkan tempat itu tapi dia masih tetap terdiam.
***

-to be continue-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blogroll