Jumat, 25 November 2011

11-11-11 part 4 [cerpen]

created by: Mei Maharani Srikandi
[No Copas!]

[SEPTEMBER 2011]
          Semuanya benar-benar direncanakan dengan matang. Papa dan Mama mau diajak bekerja sama. Mereka sudah mengirim surat izin tidak masuk sekolah selama 2 bulan dengan alasan aku harus menjalani perawatan karena penyakit yang aku idap. Tidak ada yang tahu kalau sebenarnya aku masuk panti rehabilitasi kecuali Mama, Papa, Vino, dan Mita.
[OKTOBER 2011]
          Sudah satu bulan aku tinggal di panti. Awalnya aku benar-benar tidak sanggup. Terjauh dari dunia luar, dan harus menahan rasa sakit setiap gejala itu muncul. Rasanya ingin melarikan diri dari tempat ini. Tapi aku berusaha menguatkan diri untuk tetap bertahan demi orang-orang yang sedang menungguku di luar sana.
[NOVEMBER 2011]
Satu minggu lagi aku dapat pulang. Rasanya aku tidak sabar ingin bertemu dengan semua orang. Selama di panti aku benar-benar terjauh dari dunia luar. Sekarang aku sangat rindu pada kedua orangtuaku, temanku, dan Vino.
Sejak bertemu dengan Vino kembali, dia banyak menolongku tapi aku belum pernah melakukan hal baik untuknya. Saat bertemu dengannya lagi nanti, aku berjanji akan melakukan hal baik padanya dan aku ingin melakukan banyak hal dengannya seperti saat kita kecil dulu.
***
Akhirnya tiba saatnya aku keluar dari panti itu. Aku tidak menyangka sekarang aku sudah terlepas dari barang haram itu. Aku dapat kembali hidup normal seperti dulu. Aku membayangkan semuanya begitu sempurna. Aku memiliki sahabat yang begitu pengertian. Kedua orang tuaku pun sudah berubah dan menjadi sangat memperhatikanku. Ditambah lagi sekarang aku sudah bertemu lagi dengan teman kecilku yang juga merupakan cinta monyetku yang selama ini selalu aku tunggu-tunggu. Aku tidak sabar untuk bertemu dengannya.
Papa menjemputku dari panti lalu kami pulang. Mama menyambut kami berdua dengan senyum lebar lalu memelukku erat.
“Mama senang kamu sudah sembuh, Nak. Mama janji mulai sekarang Mama akan lebih memperhatikanmu.” Akupun memeluk Mama dengan erat dengan hati yang senang.
Aku teringat pada Mita dan meneleponnya.
“Aku senang kamu udah pulang, Va.”
“Iya makasih ya, Mit. Oh ya, gimana kabar Vino?”
“Vino? Hmm… mending kita ketemu aja secara langsung.”
Lalu kami memutuskan untuk bertemu di rumah Mita.
“Loh, Mit. Aku pikir kamu ngajak Vino juga. Ko ga ada?”
“Va, sebenarnya…”
Mita menceritakan panjang lebar mengenai apa-apa saja yang telah terjadi selama aku tidak ada. Dia juga memberiku sepucuk surat beramplop hijau. Setelah mendengar semua cerita Mita dan membaca surat itu, tubuhku benar-benar terasa lemas. Aku benar-benar tidak dapat percaya dengan apa yang telah terjadi. Rasanya aku lupa bagaimana cara berbicara, aku lupa bagaimana cara bergerak. Aku hanya dapat terdiam dengan air mata yang terus-menerus membasahi kedua pipiku.
Ternyata semua ini tidak sesempurna yang aku bayangkan. Kenapa Tuhan melakukan ini padaku? Rasanya seakan-akan kebahagiaan yang akan aku dapat telah direnggut kembali. Tapi ini semua adalah guratan takdir yang harus aku jalani.  Ini semua ujian dari-Nya. Tuhan memberi kita ujian bukan karena membenci kita, tapi karena Ia peduli pada kita. Aku harus menerimanya dengan ikhlas.

~ending~

 “Va, sebenarnya Vino udah pergi.”
“Apa? Maksud kamu, dia ninggalin aku lagi?”
“Iya, Va. Tapi, kali ini dia ga bakal kembali lagi.”
“Maksudmu?”
Mita masuk kekamarnya lalu kembali lagi dengan membawa sebuah surat beramplop hijau.
“Dia pergi sehari setelah nulis surat ini.”
Lalu Mita memberikan surat itu padaku dan aku membacanya.
11-11-11       
Happy birthday to you… Lihatlah, tanggal ulang tahunmu yang ke tujuh belas sangat istimewa. Maka setelah ini kau juga harus menjadi orang yang istimewa bagi orang lain. Aku senang karena aku masih sempat menulis surat ini untukmu. Maaf aku tidak mengatakan padamu sejak awal. Aku mengidap tumor otak yang tidak dapat disembuhkan. Oleh karena itu, sebelum aku menemui ajalku aku berusaha mencarimu. Ternyata Tuhan masih memberiku kesempatan untuk bertemu denganmu lagi. Aku juga senang di akhir hidupku aku masih bisa membantumu. Kau pasti marah karena aku tidak menepati janjiku. Aku juga tidak ingin meninggalkanmu lagi. Tapi Tuhan mungkin berkehendak lain. Jangan menangis, hiduplah dengan penuh kebahagiaan. Kau punya orangtua yang memperdulikanmu, sahabat yang selalu memperhatikanmu, dan masih banyak lagi orang di luar sana yang menyayangimu. Teruskan hidupmu dan tersenyumlah ^^
                                                                                                Vino
Kau berjanji tidak akan meninggalkanku lagi.Kau sudah janji! Aku masih banyak berhutang budi padamu. Masih banyak hal yang ingin aku lakukan denganmu.Selama 7 tahun ini, ada banyak hal yang ingin aku ceritakan padamu. Dan lihatlah, aku membawa kalungmu. Aku tidak menghilangkannya, Vino. Aku tidak menghilangkannya. Kau bisa memilikinya lagi jika kau mau. Tapi kenapa kau pergi begitu cepat?
Perasaan tidak percaya masih menyelimuti hatiku. Tapi bagaimana lagi. Tidak ada yang bisa kulakukan karena ini semua telah terjadi. Vino telah pergi. Dan kali ini pergi untuk selamanya. Aku tidak dapat bertemu dengannya lagi. Aku tidak dapat melihat senyumannya lagi.               
 -THE END-

Selasa, 22 November 2011

11-11-11 part 3 [cerpen]

created by: Mei Maharani Srikandi
[No Copas!]


Kulihat sebuah mobil terparkir di garasi rumahku. Aku sedikit heran, kenapa Papa dan Mama sudah pulang. Padahal seharusnya mereka
masih di luar kota. Saat aku masuk ke rumah, Papa menyambutku dengan rona wajah yang merah. Dia terlihat marah. Dan Mama hanya diam tertunduk di salah satu kursi. Pasti telah terjadi sesuatu.
“Bilva, duduklah!” perintah Papa. Akupun menurut.
“Selama Papa dan Mama pergi, apa saja yang kamu lakukan?”
“Aku hanya pergi sekolah dan melakukan hal-hal yang biasa kulakukan.”
“Jangan bohong!” bentaknya.
“Apa yang kamu lakukan sampai kamu bisa menyentuh narkoba? Bukan hanya menyentuh, tapi kamu mengkonsumsinya.”
Aku tersentak kaget. Aku benar-benar tidak menyangka kedua orang tuaku bisa mengetahuinya. Aku tidak dapat berkata-kata.
“Jawab Papa!”
“Ya! Aku mengkonsumsinya. Memangnya kenapa?”
“Kau ini! Apa kau tahu yang kau lakukan ini salah? Mempermalukan keluarga saja!” teriaknya. Mama mulai menangis.
“Mempermalukan keluarga? Papa pikir aku melakukannya tanpa sebab? Pernahkah kalian memikirkan perasaanku? Sedikitpun kalian tidak pernah memperhatikanku. Kalian selalu sibuk dengan urusan bisnis kalian.”
“Tapi tidak seharusnya kamu lari ke hal-hal negative seperti ini.”
“Apa pernah kalian membimbingku ke hal-hal positive?”
Aku tidak tahan lagi. Aku lari ke kamarku dan menangis sepuasnya.
Besoknya saat ingin pergi sekolah orang tuaku sudah tidak ada di rumah. Setelah kejadian semalam mereka tetap tidak berubah dan tetap menomor satukan pekerjaan.
Di sekolah aku langsung mencari Vino dan mengajaknya bicara.
“Kamu katakan itu pada orang tuaku?” tanyaku tanpa basa-basi dengan nada suara yang cukup tinggi.
“Tidak.”
“Jangan bohong! Mereka tahu.”
“Jadi kamu pikir aku yang mengatakannya? Kau tidak percaya padaku?”
“Hanya kau yang tahu.”
“Aku juga tahu.” Ucap Mita yang tiba-tiba menghampiri kami berdua.
“Aku yang mengatakannya pada orang tuamu. Aku telah mendengar pembicaraan kalian berdua kemarin.”
“Kau dengar sendiri kan? Temanmu sendiri yang mangatakannya. Kenapa kau begitu tidak mempercayaiku?”
“Aku kecewa padamu, Va.” Tambah Mita.
“Sudah cukup! Aku tahu kalian kecewa padaku. Lalu apa? Kalian mau membenciku? Menjauhiku? Silahkan! Aku sudah lelah.” Aku mulai menangis.
“Apa kalian pikir aku tidak menderita? Setiap hari kurasakan penyesalan. Setiap saat kurasakan kesakitan. Hidupku tergantung pada obat-obatan itu. Aku juga ingin terlepas dari barang itu. Aku juga ingin menjadi Bilva yang dulu.” Kataku sambil terisak. Mita mulai bersimpati.
“Dan kamu, Vino. Aku tahu kamu pasti kecewa padaku. Oleh sebab itu dari awal aku melarangmu untuk dekat denganku. Aku tidak pantas menjadi temanmu.”
“Benarkah? Kupikir kau menyuruhku menjauh karena kau membenciku.“
“Aku tidak membencimu. Aku kesal padamu. Kemana saja kau selama 7 tahun ini? Apa kau tidak tahu kalau aku sangat merindukanmu!” kataku setengah teriak dan masih dalam keadaan menangis.
 “Maafkan aku karena telah membuatmu lama menunggu. Bilva, kau masih bisa lepas dari semua ini. Kau dapat sembuh dan memulai kembali hidupmu yang baru.” Lalu Vino menyarankanku untuk masuk ke panti rehabilitasi.
“Mungkin akan menghabiskan waktu cukup lama. Untuk urusan sekolah, kau bisa izin selama beberapa bulan. Tapi kita juga harus bekerja sama dengan orang tuamu.”
“Mereka tidak akan peduli.”
“Aku akan meyakinkan mereka.” Ucap Vino dengan yakin.
“Aku juga akan membantu.” Sambung Mita.
-to be continue-

11-11-11 part 2 [cerpen]

created by: Mei Maharani Srikandi
[No Copas!]
Dia adalah anak baru di sekolahku waktu itu. Dia anak yang cukup manis. Dan aku yakin saat besar nanti dia akan tumbuh menjadi anak yang tampan. Karena dia suka menyendiri, jadi aku nekat mendekatinya. Tidak kusangka kalau kami dapat menjadi teman baik. Hanya satu tahun saja. Karena setelah itu dia dan orang tuanya harus pindah rumah kembali. Aku sangat sedih saat pertama kali tahu dia akan pergi. Aku juga kesal karena aku tidak pernah jujur padanya soal perasaanku. Aku menyukainya. Ya, mungkin ini yang namanya cinta monyet. Oleh karena itu aku selalu menunggunya hingga saat ini.
          Tapi sekarang aku pikir tidak ada gunanya menunggu suatu hal yang tidak pasti. Jadi aku akan berusaha dan aku yakin aku bisa melupakannya. Perlahan-lahan, diawali dengan menjauhkan benda-benda yang dapat membuatku teringat padanya.
[JULI 2011]
          Satu bulan telah berlalu. Hubungan pertemananku dengan Hana sudah semakin dekat dan kami semakin sering keluar malam. Kurasa aku pun sudah mulai ketergantungan pada barang itu, karena badanku mulai merasa tidak enak jika tidak mengkonsumsinya. Aku sadar yang aku lakukan ini salah. Tapi ini sudah terlanjur. Sudah sulit bagiku untuk bisa lepas dari barang itu. Yang bisa kulakukan hanya menyembunyikan hal ini agar jangan sampai ada seorangpun yang tahu.
          Suatu hari aku pergi ke perpustakaan untuk mencari buku. Tiba-tiba langkahku terhenti saat kulihat sesosok laki-laki yang bersandar di depan ruangan kepala sekolah. Aku tidak dapat berkata-kata. Kulanjutkan langkahku tapi dia memanggil namaku. Rasanya jantungku seperti mau berhenti berdetak. Aku tidak berani menoleh dan langsung berjalan dengan cepat meninggalkan tempat itu.
          Tapi keesokan harinya saat pulang sekolah laki-laki itu berhasil mencegatku.
          “Bilva, kamu Bilva? Aku benar-benar senang karena pada akhirnya aku dapat menemukanmu.” Katanya sambil tersenyum.
          “Minggir!”
          “Apa? Va, kamu ga ingat aku?”
          “Apa kau pikir ingatanku seburuk itu? Tentu saja aku ingat, Vino Soegijapranata.”
          “Tapi, kenapa sikapmu seperti ini?”
          “Kau tidak suka dengan sikapku? Kalau begitu jauhi aku!”
          “Menjauhimu? Tidak akan aku lakukan. Sudah kubilang aku tidak akan meninggalkanmu lagi.”
          “Itu bukan urusanku.” Kataku lalu pergi.
          Kini dia telah muncul. Kenapa dia hadir lagi dalam hidupku disaat aku mencoba untuk melupakannya? Kenapa dia hadir lagi dalam hidupku disaat hidupku sudar hancur?
          Aku segera pulang kerumah dengan bercucuran air mata.
Maafkan aku.. Vino, maafkan aku.. Aku pun senang dapat bertemu denganmu lagi. Tahukah kau betapa aku merindukanmu? Tapi kau muncul disaat yang tidak tepat. Aku sudah tidak punya muka lagi untuk bertemu denganmu. Sekarang aku terlalu malu untuk menghadapimu. Aku sudah tidak pantas lagi menjadi temanmu.
***
          Hari-hari berikutnya Vino selalu menyapaku setiap kami berpapasan di sekolah. Seringkali kukatakan padanya agar dia mau menjauhiku tapi dia tidak pernah menghiraukan perkataanku.
          “Va, kalung itu masih kau simpan?”
          “Entahlah... Aku tidak ingat dimana aku menyimpannya. Mungkin sudah hilang. Benda yang jelek. Aku tidak menyukainya.”
          Raut wajahnya berubah. Aku  tahu perasaannya sangat marah saat aku mengatakan itu. Saat kecil Vino sangat menjaga kalung itu dan selalu membawanya kemanapun dia pergi. Kalung itu sangat berharga baginya karena itu adalah pemberian dari kakeknya.
“Padahal aku percaya padamu. Aku hanya ingin kau
menyimpannya. Tapi sudahlah. Mungkin bagimu itu bukan benda yang penting. Ya, itu memang bukan benda yang penting.” Setelah mengatakan itu Vino bebalik dan pergi.
Vino.. sungguh aku tidak bermaksud menyakiti hatimu. Aku lakukan ini agar kau membenciku dan mau menjauhiku.
          Akan tetapi, setiap usaha yang aku lakukan tidak pernah berhasil. Dia selalu menolongku meskipun aku sering membuatnya sakit hati. Aku tidak habis pikir, entah apa yang membuatnya bisa bertahan untuk tetap berada disampingku.
***
Suatu hari aku pulang sekolah dengan berjalan kaki. Tiba-tiba saja ada sebuah sepeda motor yang melaju dengan sangat cepat dan menyerempet kearah ku. Aku terjatuh, kepalaku berdarah karena terbentur pada trotoar, kakiku sedikit terluka karena telah bergesekan dengan aspal. Antara kaget, pusing, dan rasa sakit bercampur menjadi satu. Badanku menjadi lemas. Kurasakan seseorang menggendongku tapi aku tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas.
          Saat tersadar aku sudah berada di rumah sakit. Kepala dan kakiku sudah diperban. Tapi aku masih dapat berdiri karena lukaku tidak terlalu parah.
          “Va, kamu mau kemana?” Tanya Vino.
          “Kamu yang bawa aku kesini?”
          “Iya, berbaringlah dulu sampai kau merasa baik.”
          “Aku sudah merasa baik dan aku ingin pulang.”
          “Baiklah, ayo biar kuantar.”
          “Tidak perlu. Aku masih bisa pulang sendiri.” Aku mengambil tasku dari sebuah kursi.
          “Terimakasih kau sudah mau menolongku.” Ucapku sebelum pergi meninggalkannya.
          Sejak kecelakaan itu sikapku terhadap Vino mulai berubah. Walaupun aku masih tetap menjaga jarak dengannya, tapi aku tidak pernah berusaha lagi untuk menyakiti hatinya.
[AGUSTUS 2011]
          Aku sedang berada dikantin sekolah bersama Mita. Tiba-tiba saja tubuhku merasa tidak enak.
          “Kamu kenapa, Va?”
          “Apa? Hmm ga apa-apa ko. Mit, aku tinggal dulu ya. Euu, ada yang ketinggalan di perpus.”
          “Makan dulu, Va!”
          “Ga usah.”
          Aku berbohong pada Mita. Aku tidak pergi ke perpustakaan, melainkan pergi mencari tempat yang sepi. Tubuhku mulai meriang. Untunglah aku selalu membawa setidaknya satu butir obat untuk berjaga-jaga jika gejala seperti ini terjadi. Aku berhasil menemukan tempat sepi di sebuah sudut sekolah. Saat aku keluarkan sebuah plastic berisi obat-obatan itu, tiba-tiba seseorang merebutnya dari tanganku. Tidak kusangka ternyata ada yang mengikutiku.
          “Apa ini?”
          “Vino? Kenapa kamu bisa disini?” tanyaku dengan sedikit ketakutan.
          “Ini obat apa? Kau sakit?” tanyanya. Lalu dia memperhatikan keadaanku yang semakin tidak karuan. Wajahku sudah mulai pucat, tanganku mulai bergetar, suhu tubuhku sudah semakin dingin.
          “Va, jangan bilang ini…” belum selesai Vino menyampaikan kalimatnya aku merebut obat itu dari tangannya lalu segera meminumnya.
Sedikit demi sedikit keadaanku menjadi pulih kembali. Vino terdiam. Aku dapat melihat gurat ketidakpercayaan dan kekecewaan diwajahnya. Setelah dia dapat mengontrol perasaannya kembali, dia mulai bertanya padaku.
“Sejak kapan?” Tanya Vino. Aku terdiam sesaat.
“Dua bulan lalu.” Jawabku.
“Kenapa kau menggunakan barang seperti itu?”
“Sudahlah, bukan urusanmu.”
“Jauhi benda itu!”
“Tidak bisa. Ini masalahku. Kau tidak perlu ikut campur. Cukup tidak mengatakannya pada orang lain, maka aku akan sangat berterimakasih.” Aku pergi meninggalkan tempat itu tapi dia masih tetap terdiam.
***

-to be continue-

11-11-11 part 1 [cerpen]

created by: Mei Maharani Srikandi
[No Copas!]
~intro~
Namaku Bilva Munawwar. Murid kelas XII di salah satu sekolah menengah pertama di Jakarta. Aku tinggal sendiri. Tidak, sebenarnya aku tinggal bersama kedua orang tuaku. Hanya saja, mereka sangat jarang berada di rumah.
Aku memiliki masa lalu yang menyenangkan ketika aku kecil dulu saat aku masih tinggal di rumah Nenekku di Bogor. Tapi kurasa kebahagiaan itu hanya bisa kurasakan ketika aku kecil. Karena sekarang, kehidupanku sudah berbeda.
[JUNI 2011]
          Setelah pulang sekolah aku  tidak langsung pergi ke rumah. Aku pergi ke taman kota untuk menghirup udara segar. Beberapa bulan belakangan ini kedua orang tuaku jarang berada di rumah karena sibuk dengan urusan bisnis mereka. Awalnya aku bisa memahami itu. Tapi entah kenapa sekarang aku benar-benar merasa kesepian. Rasanya tidak ada yang bisa memperhatikanku.
Tiba-tiba saja seorang wanita menghampiriku dan membuyarkan lamunanku. Dia adalah Hana, anak kelas XII IPS1. Kami saling kenal karena pernah terlibat dalam organisasi yang sama. Kami pun saling berbincang-bincang dan Hana mengajakku pergi malam itu. Tentu aku sedikit merasa heran karena tidak biasa-biasanya Hana mengajakku. Namun tidak ada alasan untuk menolak ajakan itu. Aku pikir tidak ada salahnya menghibur diri dan keluar malam bersama teman.
           Tapi sungguh diluar dugaan ternyata dia membawaku ke sebuah club malam. Aku tidak pernah mengira kalau dia mengenal tempat seperti ini. Aku ditarik dan dipaksa masuk. Didalam, dia memperkenalkan aku pada teman-temannya. Mereka pun langsung mengajakku bergabung dan tidak membuatku canggung. Hanya
          Aku tidak habis pikir dengan diriku sendiri. Dengan mudahnya aku tergoda dengan barang semacam itu. Padahal aku tahu kalau barang itu hanya berdampak negative bagi diriku. Tapi pada saat itu aku benar-benar khilaf.
***
          “Bilva, kemarin pas pulang sekolah kemana? Aku kerumah kamu tapi kamunya ga ada. Malemnya aku telepon tapi ga aktif. Oh ya, katanya ulangan kemarin yang lulus cuma 5 orang termasuk kamu sama aku. Lalu mengenai tugas Fisika katanya harus dikumpulkan jam pelajaran keempat nanti. Kamu udah ngerjain belum? Aduh, aku ga ngerti yang no 7 nih. Sekarang ajarin aku ya, mumpung masih ada waktu. Gimana?” Aku langsung masuk kelas tanpa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang membuatku bingung harus menjawab darimana.
          “Loh… loh… Va! Aku dicuekin. Va, Bilva! Tunggu!”
          Itulah Mita. Dia cukup cantik dan pintar. Hanya saja sikap cerewetnya terkadang membuatku jengkel. Tapi bagaimanapun juga, begitulah cara dia menunjukkan perhatiannya.
          Saat pulang sekolah, Mita menyadari ada sesuatu yang hilang pada diriku.
          “Va, kalung kamu kemana?” Tanya Mita.
          “Kusimpan dirumah.”
          Selama ini kalung itu selalu menemaniku kemanapun aku pergi. Tapi kali ini aku tidak memakainya. Aku memang sengaja tidak memakainya karena benda itu hanya membuatku teringat pada pemiliknya.
          “Va, kamu mau lupain dia? Tapi itu berarti kamu telah menyia-nyiakan waktu selama 7 tahun ini.”
          “Oleh karena itu aku tidak mau menyia-nyiakan waktu lebih lama lagi.”
          “Tidak bisakah kamu bersabar sedikit lagi?”
          “Tidak.” Jawabku singkat.
          Setelah percakapan itu berakhir, aku pulang dengan naik taksi. Mama dan Papa sudah pulang tapi kami tidak banyak mengobrol. Hanya sekedar saling menyapa dan menanyakan kabar. Setelah itu aku segera masuk kamar dan mengganti pakaianku. Tidak sengaja aku jatuhkan sebuah kotak dari atas lemari dan isi kotak itu berceceran di lantai. Sambil kubereskan kembali isi kotak itu, kutemukan surat beramplop hijau muda yang kuterima 7 tahun lalu. Aku buka surat itu dan kubaca kembali isinya.
Selamat ulang tahun,
selamat ulang tahun,
selamat ulang tahun Bilva…  Selamat ulang tahun…
Aku harap aku bisa menyanyikannya langsung dihadapanmu, tapi aku tidak dapat melakukannya. Maafkan aku karena aku tidak bisa ikut merayakan pesta ulang tahunmu.Dan maafkan aku juga karena aku tidak mengatakan padamu kalau aku akan pergi. Aku benar-benar tidak sanggup mengucapkan salam perpisahan. Sungguh, aku ingin tetap berada disini bersamamu. Kau adalah teman terbaikku. Kumohon jangan lupakan aku dan yakinlah jika Tuhan mengizinkan maka kita akan dipertemukan kembali. Dan jika itu terjadi aku berjanji aku tidak akan pernah meninggalkanmu lagi. Jaga dirimu baik-baik. Oh ya, apa kau melihat sebuah kotak? Bukalah! Aku tidak sempat membeli hadiah. Dan benda itu adalah satu-satunya benda berharga yang aku miliki saat ini. Kupercayakan kalung itu padamu. Kuharap kau menyukainya.                
                                                                                                         Vino
Akupun jadi teringat kembali dengan petemuan pertamaku
dengannya.
-to be continue-

Blogroll