( Cerita Fiksi )
Cast : Jungkook BTS as Nam Jeong Guk; Kim So Eun as Lee So Eun ; Jang Mi Ran (OC), tokoh lainnya.
Genre: romance, family, friendship
Pancaran
matahari pagi menerobos jendela membuat hampir dari seluruh kamar itu terkena
terpaan cahayanya. Burung-burung kecil berterbangan sambil menyenandungan
nyanyiannya di atas atap. Alunan lagu-lagu hip-hop pun mengalun memecahkan
keheningan kamar. Kamar yang tidak terlalu besar itu kini nyaris menjadi
ruangan kosong. Hanya sebuah lemari di salah satu pojok ruangan, sebuah ranjang
yang kini masih setia berada di tempatnya dan dua buah kardus ukuran sedang yang
menumpuk di samping pintu menunggu gilirannya untuk dibawa keluar.
Pintu kamar itu terbuka dan seseorang yang hanya
mengenakan sehelai handuk kini masuk kedalam kamar. Dia mengambil lagi sehelai
handuk yang tergeletak diatas sebuah koper untuk mengeringkan rambutnya. Dia
mengeringkan rambutnya yang basah itu dengan tidak sabaran sehingga
tetesan-tetesan air yang berada di rambutnya sedikit menyiprat ke cermin
lemari. Selesai mengeringkan rambut dia berdiri bertolak pinggang di depan
cermin.
“Nam Jeongguk, hwaiting!!”
Dia memberikan sedikit tekanan pada kata terakhir
sambil menjentikan jari dan berpose didepan cermin.
“Guk-i, kenapa kau lama sekali?” teriak seseorang
dari luar jendela.
“Iya, Bu. Tunggu sebentar aku sedang memakai baju,”
jawab Jeongguk dengan segera mengenakan baju yang sedari tadi sudah tergeletak
di atas kasur.
Tak lama kemudian Jeongguk sudah berada di luar rumah
dengan memangku dua buah kardus yang tadi berada di kamarnya.
“Kau yakin tidak ada barang yang ketinggalan?”
“Tidak, Bu. Semuanya sudah masuk.”
“Ya sudah, cepat masukan itu ke dalam mobil.”
Perintah Ibunya. Dan kardus-kardus itu dia letakan di bagian terluar dekat
pintu bagasi.
“Oppa! Oppaya! Chakkaman!!” teriak seorang gadis kecil yang berlari
menghampirinya dengan mengacungkan sebuah gantungan yang terbuat dari batok
kelapa dengan ukiran burung camar.
“Mwo?”
“Ambil ini!” kata gadis itu dengan menyodorkan
gantungan yang tadi dibawanya.
“Itu punyamu. Aku sengaja membuatnya untukmu.”
“Kau memberi ini di hari pertamaku masuk SMP. Kau
bilang ini untuk keberuntungan dan itu terbukti. Kupikir sekarang kau yang
membutuhkannya. Bawa ini dan buktikan keberuntunganmu sendiri. Oke?” jelasnya
sambil menjejalkan gantungan itu ke genggaman Jeongguk. Jeongguk tertawa kecil
sambil mengacak rambut adiknya. Gantungan itu ia masukan kedalam sakunya.
“Ibu, ayah dimana?” tanya Jeongguk yang sejak tadi
pagi tidak melihat ayahnya di rumah.
“Dia ada urusan mendadak jadi harus berangkat pagi
sekali. Jangan pikirkan itu. Sekarang kau pergi saja dulu. Kalau sudah sampai
nanti kau bisa mengabarinya.”
“Ah, geuraeyo.”
“Sebaiknya kau pergi sekarang. Nanti keburu siang.”
“Ibu benar. Baiklah, aku pergi ya.”
“Oppa, kalau tidak terlalu sibuk sempatkan untuk
pulang ya? Aku akan kesepian’” pinta adiknya dengan memasang wajah cemberut.
“Ne. Kau harus rajin membantu Ibu di rumah ya!”
“Ne…” jawabnya sambil mengangguk dengan wajah yang
masih cemberut.
“Baiklah, omonim, Jarim-ah, aku pergi dulu. Jaga diri
kalian baik-baik.” Pamit Jeongguk dengan tersenyum. Lalu dia masuk kedalam
mobil. Sang supir siap menancap gas. Ibu dan Jarim melambaikan tangan kearah
Jeongguk.
“Sampai jumpa lagi, kakak! Jaga kesehatanmu.” Teriak
Jarim.
“Arrasseo.” Jawab Jeongguk sambil membalas lambaikan
tangan mereka.
Mobil itu pun melaju melewati deretan rumah-rumah
yang sudah Jeongguk kenal sejak dia masih kecil. Busan, sebuah kota tempat ia
dilahirkan, tempat dia tumbuh besar, tempat ia mendapatkan banyak kenangan.
Kini ia harus merantau ke kota lainnya untuk menuntut ilmu dan menyongsong
dunia yang baru. Demi cita-citanya di masa depan, demi kehidupan yang akan
datang.
**$**
Nama :
Nam Jeong Guk
Tanggal Lahir :1 Sept 1994
Asal :
Busan
Jeongguk memerhatikan tempat-tempat yang ia lewati.
Satu demi satu kenangan mulai bermunculan. Ponselnya bergetar saat ia menyadari
kalau mulai besok semuanya akan berbeda. Ada 1 pesan masuk dari seseorang yang
sedang ia pikirkan.
From: Miran
Bisa kau datang kesini sebentar?
“Pak, tolong antar aku ke pantai sebentar,”
pinta Jeongguk. Sang supir pun segera mengubah haluan. Sepuluh menit kemudian
Jeongguk sudah berdiri di belakang seorang gadis yang sedang duduk memeluk
lutut diatas sebuah batu hitam besar di sisi pantai. Dia menghampiri gadis itu
dan duduk disampingnya. Tidak ada sepatah katapun yang muncul dari mulut mereka
berdua. Hembusan angin pantai menggelitik kuping mereka dan membisikan
ajakannya untuk memecah keheningan. Tapi keduanya tetap bergeming. Yang mereka
inginkan saat ini hanyalah menikmati kebersamaan yang mungkin akan sulit mereka
nikmati lagi.
“Jeongguk-ah,” bisik Miran
dengan suara yang sedikit serak seakan menahan tangis. Jeongguk menoleh kearah
gadis yang saat ini masih memeluk lutut dan menundukan wajahnya.
“Wae? Apa ada
masalah?” tanya Jeongguk dengan polos.
Masalah? Tentu saja ini masalah. Apa kau tidak tahu jarak
Amerika-Korea? Apa kau belum tahu berapa lama aku akan berada disana? Apa kau
tahu kalau aku akan sulit terbiasa hidup tanpamu?
Semua pertanyaan itu hanya mampu Miran ucapkan dalam hatinya.
Sebenarnya Jeongguk tidak sepolos yang Miran pikirkan. Dia tahu semuanya. Dia
tahu perasaan Miran. Dia tahu apa yang sedang Miran pikirkan saat ini. Dia tahu
kalau Miran menyukainya. Sayangnya Jeongguk tidak memiliki perasaan yang sama.
Bertahun-tahun mereka bersama dan Jeongguk sudah menganggap dan memperlakukan
Miran seperti keluarganya sendiri.
“Ah tidak. Tidak apa-apa,” jawab Miran mengurungkan niatnya untuk
berbicara.
<<=
Byurr
Seember air mengguyur tubuh Miran yang sedang duduk santai membaca
buku. Seluruh tubuhnya basah termasuk bukunya. Miran hanya terdiam shock sambil
menatap kosong bukunya. Jeongguk berlari menghampiri Miran dengan wajah
khawatir.
“Gwaenchanayo? Mainhaeyo. Jeongmal mianhae. Aku tidak tahu kalau
dibawah ada orang. Ah, kau jadi basah kuyub begini” Jeongguk mengeluarkan sapu
tangan dan mengelap wajah Miran. Rupanya dia yang telah membuang air bekas
mengepel dari lantai dua. Miran tidak menjawab. Matanya mulai memerah terlihat
mau menangis sehingga membuat Jeongguk semakin khawatir.
“Mianhaeyo. Sungguh aku tidak sengaja. Kumohon jangan menangis,
nanti orang lain bisa salah paham,” pinta Jeongguk dengan memelas. Tapi itu
malah membuat tangisan Miran meledak.
“Bukunya. Aku mengumpulkan uang jajanku untuk membeli buku ini.
Bukunya… huaaaaa ummaaaa bukuku huaaaaa kau jahat!,” rengek Miran sambil
memukul-mukulkan bukunya ke bahu Jeongguk. Jeongguk menahan tangan Miran dan
mengambil bukunya.
“Jangan pikirkan itu. Kau harus ganti baju dulu,” lalu dia menarik
Miran yang masih terisak ke koperasi siswa. Selesai Miran berganti pakaian
Jeongguk menjanjikan akan membelikan buku yang baru tapi Miran menolaknya.
“Aku tidak mau yang baru. Aku mau yang ini!”
“Yasudah, biar aku keringkan. Kemarikan bukunya.”
“Tidak mau. Nanti kau malah membuatnya semakin rusak,” jawab Miran
sambil memeluk erat bukunya.
“Kalau begitu nanti kau ikut ke rumahku. Kita keringkan
sama-sama.”
“Kenapa di rumahmu? Kenapa tidak di rumahku? Kau mau macam-macam
ya?”
“Kau ini. Kenapa begitu tidak percaya padaku? Baiklah kalau begitu
dirumahmu saja.”
“Tapi aku tidak mau membawa orang yang belum aku kenal ke rumah,”
jawab Miran dengan polos.
Omona. Kenapa aku
harus berurusan dengan orang seperti ini.
Jeongguk menatap Miran dengan menahan kekesalan yang mulai muncul.
Dia menghela nafas dan menghembuskannya pelan untuk mengontrol perasaannya.
“Namaku Nam Jeongguk, siswa kelas 9-A. Sekarang kau sudah
mengenalku kan,” kata Jeongguk memperkenalkan dirinya.
Sejak itulah muncul istilah 'dimana ada Jeongguk disitu ada Miran'.
=>>
Kenangan pertemuan pertama mereka itu tiba-tiba muncul di kepala Miran.
Miran memandang jauh kearah lautan untuk mengalihkan fokusnya agar tidak
menangis. Tapi itu tidak berhasil, dan kenangan lain pun muncul dikepalanya.
<<=
Jeongguk terbaring di salah satu ruang rumah sakit. Dia tertidur
dengan beberapa perban yang menempel di tubuhnya. Miran menangis pelan di
samping tempat tidur. Kali ini dia menangis bukan karena kesalahan yang
ditimbulkan Jeongguk. Tapi karena mengkhawatirkan sahabatnya yang baru saja
mengalami kecelakaan mobil.
Jeongguk terbangun dari tidurnya.
“Miran, kau datang?”
“Bodoh! Kalau tidak bisa menyetir jangan menggunakan mobil!” kata Mira.
“Bodoh! Kalau tidak bisa menyetir jangan menggunakan mobil!” kata Mira.
“Aku bisa menyetir. Aku
mendapatkan SIM dari hasil testku sendiri. Supir truk itu yang tidak punya mata
dan menabrakku,” bela Jeongguk.
“Tidak bisakah kau tidak
membuatku terus khawatir?”
“Tidak bisakah kau tidak terlalu
khawatir?”
Tidak. Aku terlalu menyayangimu, Nam Jeongguk. Kata Miran dalam
hati.
“Aku baik-baik saja. Hanya luka
luar seperti ini beberapa hari juga akan sembuh. Sudahlah hentikan tangisanmu.
Nanti para suster itu akan salah paham,” kata Jeongguk membuat Miran tertawa
kecil. Kalimat itu selalu Jeongguk katakan ketika Miran menangis dan selalu
berhasil menghiburnya.
=>>
Hari sudah semakin siang. Sorotan matahari pun mulai tidak
bersahabat lagi. Keduanya masih terdiam diatas batu hitam di sisi pantai yang
sepi itu.
“Miran-ah,” ucap Jeongguk memulai percakapan.
“Hmm?”
“Kau tahu, kehidupan tidak akan pernah sama. Setiap hal akan
selalu berubah.”
“Tapi itu tidak akan berubah jika manusia tidak merubahnya.”
“Tapi manusia menyukai perubahan makanya mereka selalu berubah
walaupun itu hanya sedikit. Seperti kau. Miran yang saat ini berada di
sampingku bukan lagi Miran yang dulu. Kau bukan lagi Miran yang suka menangis
dan berteriak ‘Ummaaaa!!’. Kau bukan lagi Miran yang mengamuk berteriak
‘nappeun namja, nan niga sirheo!’ dan melempariku dengan barang-barang yang
ada di dekatmu,” kata Jeongguk memperagakan perilaku Miran dan membuatnya
tertawa hingga meneteskan air mata.
“Ya! Kenapa kau menangis? Orang lain bisa salah paham!”
“Ya! Kenapa kau menangis? Orang lain bisa salah paham!”
“Tapi disini tidak ada orang
lain.”
“Lihat itu. Disana. Aku menyewa
supir untuk mengantarku ke Seoul. Satu orang itu bisa menjadi saksi mata atas
perbuatanku. Bagaimana kalau dia melaporkanku dengan tuduhan aku telah
mencampakan seorang gadis di tepi pantai dan membuatnya menangis seharian, hmm?
Bagaimana?” oceh Jeongguk. Miran tertawa
kecil dan mengelap bekas air matanya.
“Nah, begitu lebih baik.
Baiklah, kita lanjutkan kuliah singkat kita.”
“Mwo?”
“Wae? Aku kan sedang memberimu kuliah.”
“Baiklah, Pak. Lanjutkan!”
“Saat manusia berubah, keadaan di sekitarnyapun akan berubah
sehingga kehidupan pun akan berbeda. Kau tidak bisa menuntut semuanya agar
tetap sama. Sekarang kita bukan anak kecil lagi. Kita sudah ditunjukan jalan
menuju kehidupan yang sebenarnya. Dan kita harus bisa membiasakan diri di kehidupan yang baru itu. Ikuti takdirmu, jalani kehidupanmu.”
Miran terdiam menatap Jeongguk tanpa berkomentar apapun.
“Miran-ah, apa cita-citamu?”
“Menjadi desainer terkenal.”
“Apa yang akan kau lakukan jika kau gagal?”
“Aku tidak akan gagal,” jawab Miran dengan yakin.
“Bagaimana kau yakin kau tidak akan gagal?”
“Karena aku akan berusaha.”
“Karena aku akan berusaha.”
“Bagaimana kau akan berusaha kalau tahap pertama saja kau tidak
bisa melewatinya?”
Miran tidak bisa menjawab pertanyaan terakhir itu.
“Pergilah. Berusahalah. Temui aku saat kau sudah benar-benar
menjadi Jang Mi Ran.”
“Ne! Nan ilhae,” jawab Miran mengangguk dengan yakin.
“Bagus,” kata Jeongguk sambil
mengacak rambut Miran.
“Ini sudah siang. Aku harus berangkat sekarang,” Jeongguk beranjak dari batu itu.
“Chakkaman!”
Miran menghampirinya dan
memeluknya erat. Sangat erat sehingga Jeongguk tidak punya pilihan lain selain
membalas pelukannya.
“Aku akan merindukanmu.”
“Nado. Jaga dirimu baik-baik.”
“Ne,” Miran melepaskan pelukannya.
Jeongguk memberikan gantungan dengan ukiran burung camar miliknya
kepada Miran.
“Ambil ini. Sekarang adalah
giliranmu.”
“Giliranku?”
“Giliranmu untuk mendapatkan
keberuntungannya.”
“Bagaimana denganmu?”
“Aku belum membutuhkannya,” kata
Jeongguk sambil tersenyum yakin.
Selesai saling bertukar kata
perpisahan, Jeongguk pun segera melanjutkan perjalanannya. Kali ini dia pergi
dengan perasaan tenang.
Tolong jaga Miran. Pinta Jeongguk dalam hati.
Pesan itu ia tujukan pada benda keberuntungan yang dia berikan
pada Miran. Mungkin disitulah akhir kebersamaan Jeongguk dan Miran. Tapi akhir
kebersamaan bukan berarti akhir cerita mereka.
**$**
Jam menunjukan pukul 3 sore.
Mobil yang ditumpangi Jeongguk berhenti di salah satu gedung apartemen di
Seoul. Sebuah apartemen yang tepat menurutnya karena tidak buruk dan tidak
terlalu mewah. Letaknya pun cukup strategis karena tidak terlalu jauh dari pusat
perbelanjaan.
Jeongguk membawa beberapa kardus
dan memasuki gedung apartemen itu. Dia sudah mengurus sewa apartemen dari jauh
hari sehingga sekarang dia hanya tinggal mengisinya saja. Lift berhenti di
lantai tiga dan Jeongguk langsung mencari apartemen nomor 15. Dia menemukannya
dan hendak masuk tapi heran karena pintunya tidak terkunci. Dia memasuki
apartemen itu dengan membawa 2 tumpuk kardus di pangkuannya.
**$**
Seorang wanita mengantar temannya hingga
ke luar gedung apartemen dan berterima kasih karena sudah membantu membawakan
beberapa barang untuknya. Dia bernama Lee So Eun.
“Kau yakin tidak mau pindah?”
“Untuk apa aku pindah? Kan aku
yang pertama kali memasuki apartemennya,” kata So Eun.
“Ah benar juga. Lagipula dia
cukup tampan. Kau tidak akan rugi satu apartemen dengannya, haha.”
“Bicara apa kau ini? Sudah sana
cepat pulang! Hati-hati di jalan!”
So Eun menghela nafas dan
menghembuskannya sekaligus. Entah kesialan apalagi yang akan ia dapatkan kali
ini.
<<=
Jeongguk heran apartemennya sudah tidak terkunci. Dia masuk kedalam
apartemen dengan memangku kardus-kardusnya. Tiba-tiba terdengar suara seorang
wanita.
“Apa kau menggunakan pesuruh untuk mengantar barang-barangmu?”
kata seorang wanita mengagetkan Jeongguk. Rupanya wanita itu sedang berbicara di
telfon.
“Oh ya, kardusnya letakan disitu
saja ya,” perintahnya pada Jeongguk sehingga membuat Jeongguk semakin heran.
“Apa? Tidak? Yang benar saja.
Ini ada seorang laki-laki membawa barang-barang ke apartemenmu. Ah astaga dia
tampan juga,” bisik wanita itu masih berbicara di telfon.
“Hmm? Benarkah? Lalu dia siapa?”
tanya wanita itu yang sekarang raut wajahnya mulai berubah ketakutan. Dia
menutup telfonnya dan menodongkan sebuah payung pada Jeongguk.
“Siapa kau? Mau apa kau kesini?”
“Mworago?” Jeongguk keheranan
dan menaruh barang-barang yang ia bawa di dekat tembok.
“Kutanya, siapa kau?”
“Aku penyewa apartemen ini. Kau
sedang apa di apartemenku?”
“Apartemenmu? Ini apartemen
temanku!”
“Yang benar saja. Lihat ini, ini
suratnya. Aku sudah tanda tangan kontrak untuk menyewa tempat ini.”
“Tidak mungkin. Temanku sudah
menyewanya. Dia sudah memegang kuncinya.”
“Kunci? Aku juga punya
kuncinya,” kata Jeongguk mengacungkan kunci apartemen itu.
“Ish.. Kenapa jadi begini.”
=>>
So Eun kembali ke apartemen
dengan lesu. Bagaimana mungkin hal seperti ini harus terjadi. Dia tidak bisa
tinggal satu apartemen dengan orang yang bahkan belum ia kenal. Tapi ia tidak
mau pindah. Sulit mendapatkan tempat yang cukup nyaman dan harga terjangkau
seperti ini.
Tepat di depan pintu apartemen dia mendengar suatu kegaduhan. Dia
segera masuk kedalam dan sesuatu membuatnya kaget.
“Yak! Mwo haneungoeyo???” tanya
So Eun dengan ekspresi kaget dan sedikit marah. Jeongguk hanya menjawabnya
dengan senyuman nakal.
“Jeongguk-sii!!! Aaaaaaaa!!!”
-To Be
Continued-
lumayan sih,mungkin bisa jadi penulis terkenal
BalasHapusWah seru nc kaya nya,
BalasHapusjongguk bkal suka m so eun kya nya, , trus gmn donx sma miran ? Q tnggu ya klnjtny', tetep smangat ya thor ! :-)