[No Copas!]
Kulihat sebuah mobil terparkir di garasi rumahku. Aku sedikit heran, kenapa Papa dan Mama sudah pulang. Padahal seharusnya mereka
masih di luar kota. Saat aku masuk ke rumah, Papa menyambutku dengan rona wajah yang merah. Dia terlihat marah. Dan Mama hanya diam tertunduk di salah satu kursi. Pasti telah terjadi sesuatu.
“Bilva, duduklah!” perintah Papa. Akupun menurut.
“Selama Papa dan Mama pergi, apa saja yang kamu lakukan?”
“Aku hanya pergi sekolah dan melakukan hal-hal yang biasa kulakukan.”
“Jangan bohong!” bentaknya.
“Apa yang kamu lakukan sampai kamu bisa menyentuh narkoba? Bukan hanya menyentuh, tapi kamu mengkonsumsinya.”
Aku tersentak kaget. Aku benar-benar tidak menyangka kedua orang tuaku bisa mengetahuinya. Aku tidak dapat berkata-kata.
“Jawab Papa!”
“Ya! Aku mengkonsumsinya. Memangnya kenapa?”
“Kau ini! Apa kau tahu yang kau lakukan ini salah? Mempermalukan keluarga saja!” teriaknya. Mama mulai menangis.
“Mempermalukan keluarga? Papa pikir aku melakukannya tanpa sebab? Pernahkah kalian memikirkan perasaanku? Sedikitpun kalian tidak pernah memperhatikanku. Kalian selalu sibuk dengan urusan bisnis kalian.”
“Tapi tidak seharusnya kamu lari ke hal-hal negative seperti ini.”
“Apa pernah kalian membimbingku ke hal-hal positive?”
Aku tidak tahan lagi. Aku lari ke kamarku dan menangis sepuasnya.
Besoknya saat ingin pergi sekolah orang tuaku sudah tidak ada di rumah. Setelah kejadian semalam mereka tetap tidak berubah dan tetap menomor satukan pekerjaan.
Di sekolah aku langsung mencari Vino dan mengajaknya bicara.
“Kamu katakan itu pada orang tuaku?” tanyaku tanpa basa-basi dengan nada suara yang cukup tinggi.
“Tidak.”
“Jangan bohong! Mereka tahu.”
“Jadi kamu pikir aku yang mengatakannya? Kau tidak percaya padaku?”
“Hanya kau yang tahu.”
“Aku juga tahu.” Ucap Mita yang tiba-tiba menghampiri kami berdua.
“Aku yang mengatakannya pada orang tuamu. Aku telah mendengar pembicaraan kalian berdua kemarin.”
“Kau dengar sendiri kan? Temanmu sendiri yang mangatakannya. Kenapa kau begitu tidak mempercayaiku?”
“Aku kecewa padamu, Va.” Tambah Mita.
“Sudah cukup! Aku tahu kalian kecewa padaku. Lalu apa? Kalian mau membenciku? Menjauhiku? Silahkan! Aku sudah lelah.” Aku mulai menangis.
“Apa kalian pikir aku tidak menderita? Setiap hari kurasakan penyesalan. Setiap saat kurasakan kesakitan. Hidupku tergantung pada obat-obatan itu. Aku juga ingin terlepas dari barang itu. Aku juga ingin menjadi Bilva yang dulu.” Kataku sambil terisak. Mita mulai bersimpati.
“Dan kamu, Vino. Aku tahu kamu pasti kecewa padaku. Oleh sebab itu dari awal aku melarangmu untuk dekat denganku. Aku tidak pantas menjadi temanmu.”
“Benarkah? Kupikir kau menyuruhku menjauh karena kau membenciku.“
“Aku tidak membencimu. Aku kesal padamu. Kemana saja kau selama 7 tahun ini? Apa kau tidak tahu kalau aku sangat merindukanmu!” kataku setengah teriak dan masih dalam keadaan menangis.
“Maafkan aku karena telah membuatmu lama menunggu. Bilva, kau masih bisa lepas dari semua ini. Kau dapat sembuh dan memulai kembali hidupmu yang baru.” Lalu Vino menyarankanku untuk masuk ke panti rehabilitasi.
“Mungkin akan menghabiskan waktu cukup lama. Untuk urusan sekolah, kau bisa izin selama beberapa bulan. Tapi kita juga harus bekerja sama dengan orang tuamu.”
“Mereka tidak akan peduli.”
“Aku akan meyakinkan mereka.” Ucap Vino dengan yakin.
“Aku juga akan membantu.” Sambung Mita.
-to be continue-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar